Perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan nasional maupun
internasional terjadi begitu cepat. Hal ini menunjukkan bahwa
perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan merupakan hal yang
penting untuk dipelajari dan dipahami oleh petugas kesehatan khususnya
bidan yang bertugas sebagai bidan pendidik maupun bidan di pelayanan
Salah
satu faktor yang menyebabkan terus berkembangnya pelayanan dan
pendidikan kebidanan adalah masih tingginya mortalitas dan morbiditas
pada wanita hamil dan bersalin, khususnya di negara berkembang dan di
negara miskin yaitu sekitar 25-50%. Mengingat hal diatas, maka penting
bagi bidan untuk mengetahui sejarah perkembangan pelayanan dan
pendidikan kebidanan karena bidan sebagai tenaga terdepan dan utama
dalam pelayanan kesehatan ibu dan bayi diberbagai catatan pelayanan
wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya
melalui pendidikan formal atau non formal dan bidan berhak atas
kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun
pelatihan serta meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.
PELOPOR YANG BEKERJA SAMA DALAM PERKEMBANGAN KEBIDANAN HIPOKRATES DARI YUNANI THN 460 – 370 SM
Disebut Bapak Pengobatan
1. Menaruh perhatian terhadap kebidanan / keperawatan dan pengobatan
2. Wanita yang bersalin dan nifas mendapatkan pertolongan dan pelayanan selayaknya.
SORANUS THN 98-138 SM BERASAL DARI EFESUS/TURKI Disebut Bapak Kebidanan
1. Berpendapat bahwa seorang ibu yang telah melahirkan tidak takut akan hantu atau setan dan menjauhkan ketahyulan
2.
Kemudian diteruskan oleh MOSCION bekas muridnya : meneruskan usahakan
dan menulis buku pelajaran bagi bidan-bidan yang berjudul : KATEKISMUS
bagi bidan-bidan Roma Pengetahuan bidan semakin maju.
Sejarah Perkembangan Pelayanan Dan Pendidikan Kebidanan Di Indonesia
Perkembangan
pendidikan dan pelayanan kebidanan di Indonesia tidak terbatas dari
masa penjajahan Belanda, era kemerdekaan, politik/kebijakan pemerintah
dalam pelayanan dan pendidikan tenaga kesehatan, kebutuhan masyarakat
serta kemajuan ilmu dan teknologi.
Perkembangan Pelayanan Kebidanan
Pelayanan
kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab praktik
profesi bidan dalam system pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan kaum perempuan khususnya ibu dan anak. Layanan
kebidanan yang tepat akan meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu
dan bayinya. Layanan kebidanan/oleh bidan dapat dibedakan meliputi :
a. Layanan kebidanan primer yaitu layanan yang diberikan sepenuhnya atas tanggung jawab bidan.
b.
Layanan kolaborasi yaitu layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai
anggota tim secara bersama-sama dengan profesi lain dalam rangka
pemberian pelayanan kesehatan.
c. Layanan kebidanan rujukan yaitu
merupakan pengalihan tanggung jawab layanan oleh bidan kepada system
layanan yang lebih tinggi atau yang lebih kompeten ataupun pengambil
alihan tanggung jawab layanan/menerima rujukan dari penolong persalinan
lainnya seperti rujukan.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda,
angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan
adalah dukun. Pada tahun 1807 (zaman Gubernur Jenderal Hendrik William
Deandels) para dukun dilatih dalam pertolongan persalinan, tetapi
keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatih
kebidanan.
Adapun pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi
orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Tahun 1849 di buka pendidikan
Dokter Jawa di Batavia (Di Rumah Sakit Militer Belanda sekarang RSPAD
Gatot Subroto). Saat itu ilmu kebidanan belum merupakan pelajaran, baru
tahun 1889 oleh Straat, Obstetrikus Austria dan Masland, Ilmu kebidanan
diberikan sukarela. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut,
pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia
oleh seorang dokter militer Belanda (dr. W. Bosch). Mulai saat itu
pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Pada
tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat
meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Perubahan pengetahuan dan
keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh
di masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan
istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta yang
akhirnya dilakukan pula dikota-kota besar lain di nusantara. Seiring
dengan pelatihan tersebut didirikanlah Balai Kesehatan Ibu dan Anak
(BKIA).
Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan
terintegrasi kepada masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan
berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas
berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk
pelayanan keluarga berencana.
Mulai tahun 1990 pelayanan
kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan masyarakat. Kebijakan
ini melalui Instruksi Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun
1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa.
Adapun
tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA,
khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas serta
pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk. Pembinaan dukun bayi.
Dalam melaksanakan tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan
rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya, mengadakan pembinaan pada
Posyandu di wilayah kerjanya serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas adalah
pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan yang diberikan
berorientasi pada kesehatan masyarakat berbeda halnya dengan bidan yang
bekerja di rumah sakit, dimana pelayanan yang diberikan berorientasi
pada individu. Bidan di rumah sakit memberikan pelayanan poliklinik
antenatal, gangguan kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga
berencana, senam hamil, pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar
operasi kebidanan, ruang nifas dan ruang perinatal.
Titik tolak
dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang
menekankan pada reproduktive health (kesehatan reproduksi), memperluas
area garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi :
1. Safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus
2. Family Planning.
3. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
4. Kesehatan reproduksi remaja
5. Kesehatan reproduksi pada orang tua.
Bidan
dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan
dan kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut
wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat.
Permenkes tersebut dimulai dari :
a. Permenkes No. 5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
b.
Permenkes No. 363/IX/1980, yang kemudian diubah menjadi Permenkes
623/1989 wewenang bidan dibagi menjadi dua yaitu wewenang umum dan
khusus ditetapkan bila bidan meklaksanakan tindakan khusus di bawah
pengawasan dokter. Pelaksanaan dari Permenkes ini, bidan dalam
melaksanakan praktek perorangan di bawah pengawasan dokter.
c.
Permenkes No. 572/VI/1996, wewenang ini mengatur tentang registrasi dan
praktek bidan. Bidan dalam melaksanakan prakteknya diberi kewenangan
yang mandiri. Kewenangan tersebut disertai dengan kemampuan dalam
melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup :
- Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak.
- Pelayanan Keluarga Berencana
- Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
d. Kepmenkes No. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan revisi dari Permenkes No. 572/VI/1996
Dalam
melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi dan
merujuk sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan dan kemampuannya. Dalam
keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang
ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan
bahwa bidan dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan kewenangan,
kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
Pencapaian
kemampuan bidan sesuai dengan Kepmenkes No. 900/2002 tidaklah mudah,
karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan ini
mengandung tuntutan akan kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan
mandiri.
Perkembangan Pendidikan Kebidanan
Perkembangan
pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan.
Keduanya berjalan seiring untuk menjawab kebutuhan/tuntutan masyarakat
akan pelayanan kebidanan. Yang dimaksud dalam pendidikan ini adalah,
pendidikan formal dan non formal.
Pendidikan bidan dimulai pada masa
penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851 seorang dokter militer
Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di
Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnyah peserta
didik yang disebabkan karena adaanya larangan atatupun pembatasan bagi
wanita untuk keluaran rumah.
Pada tahunan 1902 pendidikan bidan
dibuka kembali bagi wanita pribumi di rumah sakit militer di batavia dan
pada tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita indo dibuka di Makasar.
Luluasan dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana
saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang
mampu secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah
kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40
Gulden per bulan (tahun 1922).
Tahun 1911/1912 dimulai pendidikan
tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia.
Calon yang diterima dari HIS (SD 7 tahun) dengan pendidikan keperawatan
4 tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun
1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat
wanita yang luluas dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama dua
tahun. Untuk perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan
lanjutan selama dua tahun juga.
Pada tahun 1935-1938 pemerintah
Kolonial Belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo (Setingkat SLTP
bagian B) dan hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota
besar antara lain Jakarta di RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua dan RSB
Mardi Waluyo di Semarang. DI tahun yang sama dikeluarkan sebuah
peraturan yang membedakan lulusan bidan berdasarkan latar belakang
pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikannya Mulo dan pendidikan
Kebidanan selama tiga tahun tersebut Bidan Kelas Satu (Vreodrouweerste
Klas) dan bidan dari lulusan perawat (mantri) di sebut Bidan Kelas Dua
(Vreodrouw tweede klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok
dan tunjangan bagi bidan. Pada zaman penjajahan Jepang, pemerintah
mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan dasar yang
berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan
Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan
mereka mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.
Pada
tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan
usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat
kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka
pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenjang Kesehatan E atau
Pembantu Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah
itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun
kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan
bidan selama dua tahun.
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan
(KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu.
Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah
untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program
KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan memulai
tugasnya sebagai bidan terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967
KTB ditutup (discountinued).
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru
bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan
masyarakat di Bandung. Pada awalnya pendidikan ini berlangsung satu
tahun, kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga
tahun. Pada awal tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi
Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan
sekolah perawat dan sekolah bidan.
Pada tahun 1970 dibuka program
pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat
(SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah
Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak
dilaksanakan secara merata diseluruh propinsi. Pada tahun 1974 mengingat
jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori),
Departemen Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga
kesehatan non sarjana. Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat
Kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga multi purpose di lapangan
dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal. Namun
karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang berkaitan
dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat
menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil.
Pada
tahun 1975 sampai 1984 institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga
selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan
(IBI) tetap ada dan hidup secara wajar.
Tahun 1981 untuk
meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan
ibu dan anak termasuk kebidanan, dibuka pendidikan Diploma I Kesehatan
Ibu dan Anak. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak
dilakukan oleh semua institusi.
Pada tahun 1985 dibuka lagi program
pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang menerima lulusan SPR dan SPK.
Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi
yang mengirim.
Tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan
secara nasional yang memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk
program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan
Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya ditempatkan
di desa-desa. Untuk itu pemerintah menempatkan seorang bidan di tiap
desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS Golongan II). Mulai tahun 1996
status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT) dengan
kontrak selama tiga tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat
diperpanjang 2 x 3 tahun lagi.
Penempatan BDD ini menyebabkan
orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah. BDD harus dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya tidak hanya kemampuan klinik, sebagai bidan tapi
juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk
menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan
anak. Program Pendidikan Bidan (A) diselenggarakan dengan peserta didik
cukup besar. Diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah
memiliki minimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga
tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan
sebagai seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang terlalu
singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun waktu satu
tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik untuk praktek klinik
kebidanan sangat kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki
sebagai seorang bidan juga kurang.
Pada tahun 1993 dibuka Program
Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari lulusan Akademi
Perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini
adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada Program Pendidikan Bidan
A. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan
dari lulusan ini tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena
lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu hanya setahun. Pendidikan ini
hanya berlangsung selama dua angkatan (1995 dan 1996) kemudian ditutup.
Pada
tahun 1993 juga dibuka pendidikan bidan Program C (PPB C), yang
menerima masukan dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11
Propinsi yaitu : Aceh, Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera),
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wilayah
Kalimantan. Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian
Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat
diselesaikan dalam waktu enam semester.
Selain program pendidikan
bidan di atas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga menyelenggarakan
uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (Distance learning) di tiga
propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebijakan ini
dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga
kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu
pelayanan kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan ini telah diatur dalam
SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/XII/1994
Diklat Jarak Jauh Bidan
(DJJ) adalah DJJ Kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan
tugasnya dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI dan AKB. DJJ Bidan
dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah. Pendidikan ini
dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di
Propinsi. DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 Propinsi, pada
tahap II (1996-1997) dilaksanakan di 16 propinsi dan pada tahap III
(1997-1998) dilaksanakan di 26 propinsi. Secara kumulatif pada tahap
I-III telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439 (55%)
dinyatakan lulus.
Pada tahap IV (1998-1999) DJJ dilaksanakan di
26 propinsi dengan jumlah tiap propinsinya adalah 60 orang, kecuali
Propinsi Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah masing-masing hanya 40
orang dan Propinsi Jambi 50 orang. Dari 1490 peserta belum diketahui
berapa jumlah yang lulus karena laporan belum masuk. Selain pelatihan
DJJ tersebut pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan
kegawat daruratan maternal dan neonatal (LSS = Life Saving Skill) dengan
materi pembelajaran berbentuk 10 modul. Koordinatornya adalah
Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas.
Sedang
pelaksanaannya adalah Rumah sakit propinsi/kabupaten. Penyelenggaraan
ini dinilai tidak efektif ditinjau dari proses. Pada tahun 1996, IBI
bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan American College of Nurse
Midwive (ACNM) dan rumah sakit swasta mengadakan Training of Trainer
kepada anggota IBI sebanyak 8 orang untuk LSS, yang kemudian menjadi tim
pelatih LSS inti di PPIBI. Tim pelatih LSS ini mengadakan TOT dan
pelatihan baik untuk bidan di desa maupun bidan praktek swasta.
Pelatihan praktek dilaksanakan di 14 propinsi dan selanjutnya melatih
bidan praktek swasta secara swadaya, begitu juga guru/dosen dari D3
Kebidanan. 1995-1998, IBI bekerja sama langsung dengan Mother Care
melakukan pelatihan dan peer review bagi bidan rumah sakit, bidan
Puskesmas dan bidan di desa di Propinsi Kalimantan Selatan.
Pada
tahun 2000 telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang
dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal health (MNH) yang sampai saat ini
telah melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten. Pelatihan LSS dan APN
tidak hanya untuk pelatihan pelayanan tetapi juga guru, dosen-dosen
dari Akademi Kebidanan. Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan,
utnuk meningkatkan kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan
Lokakarya organisasi. Lokakarya organisasi dengan materi pengembangan
organisasi (Organization Development = OD) dilaksanakan setiap tahun
sebanyak dua kali mulai tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya dari UNICEP.
Tahun
2000 Keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan tentang D-IV Kebidanan
di FK UGM,FK UNPAD Tahun 2002 di FK USU. Tahun 2005 Keputusan Mentri
Pendidikan dan Kebudayaan tentang S2 Kebidanan di FK UNPAD.
thank to : http://bidanshop.blogspot.com/2010/01/sejarah-kebidanan-di-indonesia.html
0 comments:
Post a Comment